Takut

6 11 2009

Sudah sangat lama air itu tidak keluar dari tempatnya. Sampai kemarin, sampai rasa berdosa yang besar itu muncul. Rasa ketidakmampuan memenuhi sebuah harapan. Rasa takut akan kehilangan banyak hal, terutama kepercayaan.





Hari ini

13 10 2009

Hari ini, setahun yang lalu…Hanya ada kami berdua. Menjelang saat kedatangannya. Mungkin, kami belum memutuskan untuk membawanya lima ratus kilometer lebih dari sini, mungkin juga sudah. Saya tak ingat.

Jenis kelaminnya saja kami belum tahu, karena dari awal memang tidak ingin tahu. Sampai akhirnya dokter itu memberitahu kami disana, saat pemeriksaan rutin.

Hari ini, setahun yang lalu, tak banyak yang berubah, kecuali kehadirannya. Saya sudah, dan masih disini, dengan keadaan yang hampir sama dengan hari ini. Bedanya, mungkin sekarang saya sudah semakin berkarat, sehingga menimbulkan lubang disana-sini.

Hari ini, hujan angin baru saja selesai. Meninggalkan beberapa bekasnya.





Hampir setahun…

12 10 2009

Dia sudah bisa jalan sekarang. Sudah cukup lancar…Tadi malam kami baru belikan sandal untuknya, karena dia sudah senang main di luar rumah. Senang sekali bisa melihat pertumbuhannya dari hari ke hari. Tak terasa sudah hampir setahun sejak dia lahir. Bayi mungil yang mengahabiskan sebagian waktunya untuk tidur. Lalu, dia mulai bisa melihat. Sampai sekarang, dia sudah punya dua gigi, dan berjalan walau masih tertatih.





Maafkan saya…

25 09 2009

Seharusnya, bukan karena Lebaran saja maaf itu diucapkan. Tapi, mumpung sedang banyak yang bermurah hati memberikan maafnya akhir-akhir ini, mohon maafkan saya juga. Untuk semua kesalahan. Walau mungkin kalian tak ingat apa salah saya, atau mungkin ada yang tidak bisa memaafkan saya karena berbagai alasan. Saya pun juga begitu sebenarnya.

Seharusnya, hari pertama masuk kantor setelah libur lebaran menjadi menyenangkan. Karena, katanya, setelah lebaran, semua dimulai dari NOL lagi. Tapi, itu katanya. Business is business. Tak ada yang bisa dimaafkan, apalagi dimulai dari NOL. Apalagi ketika sebuah ketetapan sudah dibuat, rasa kecewa yang ditulis dalam selembar kertas dan dikirim kemana-mana. Saya memang salah, saya tahu. Tapi, saya juga tahu, saya tak sepenuhnya salah. Tapi ya sudahlah, agak repot memang kalau harus berhadapan dengan banci yang senang bernyanyi. Terlebih lagi sang majikan senang mendengar nyanyiannya. Meskipun dia banci, saya pun sudah memaafkannya, meski tak bisa memahami, kenapa semua seolah-olah salah saya semata. Saya pun dengan senang hati sudah memberi maaf kepada majikannya, yang pasti lebih percaya kepada anak buahnya yang banci, daripada saya yang bengal. Tapi, sekali lagi mohon maafkan saya. Karena saya tak bisa menjadi banci seperti dia.





Semangat

13 07 2009

Puluhan sepeda motor berjejer memenuhi sebagian badan jalan ketika saya lewat. Begitu juga di Sekolah Dasar berikutnya yang saya lewati, lalu Taman Kanak-kanak. Semua sekolah tampak bergairah saat saya lewati pagi tadi. Ada banyak antusiasme disana, ada berjuta harapan, berjuta impian, di depan jutaan gerbang sekolah. Hari pertama anak-anak mereka sekolah. Mungkin anak pertamanya, atau mungkin anak yang kesekian. Tapi tetap, hari ini sejuta harapan timbul, bahkan doa, agar anak mereka, anak yang mereka antar menjalani hari pertamanya di sekolah, bisa jadi anak yang pandai, yang bisa dibanggakan. Belum tiba giliran saya memang. Tapi semangat dan harapan itu sudah ada pada saya. Tak sabar rasanya untuk mengantar dan menunggu anak saya menjalani hari pertama sekolah. Tak sabar untuk merasakan bangga ketika melihatnya tumbuh pintar. Empat tahun lagi mungkin.





BIC Goes To Dieng

13 07 2009

Hari itu datang juga. Akhirnya…
Cuti hari pertama. Malam nanti, liburan akan dimulai, dari KM 39 Cikarang, menuju Wonosobo. Liburan jarak jauh pertama kami bersama Kayana yang baru berusia delapan bulan, dengan ibunya tentu saja. Semua sudah kami siapkan, makanan kecil, minuman segar, Marlboro merah untuk saya, dan Car Seat untuk Kay.

Entah kenapa hari itu berjalan cepat sekali, tak terasa. Niat tidur siang untuk menyimpan tenaga malam harinya, gagal total. Menuju meeting point di Cikarang, saya mulai membayangkan, iring-iringan panjang melaju pelan membelah jalan, menuju tujuan.

Lima belas menit sebelum tanggal berganti, kami berangkat. Sebagai pendatang baru, saya berada di urutan paling depan, dengan nomor lambung B2, di belakang Road Captain, Om Aryo dan Grup Leader sekaligus Ketupelak, Pak Satrio. Di belakang saya menyusul Pak Helmi Burhan, Om Rudi, dan terakhir di grup Bravo, Om Dizki.

Bayangan saya tentang iring-iringan panjang yang melaju pelan langsung buyar sesaat setelah kami melaju di tol. Tak ada pemanasan, tak ada ba-bi-bu, semua rombongan langsung “ditarik”. Jelas saja, saya kaget. Pun demikian kebo saya. Maklum, selama ini kebo saya tak pernah ditunggangi dengan memecut keras-keras pantatnya. Malam itu, ‘dia’ berjuang keras menyesuaikan diri, mengikuti instruksi dari Bravo Leader yang terus menerus teriak ‘rapat! rapat!’, seperti kenek Metromini yang sedang mengejar setoran. Malam itu, ‘dia’ menerima beberapa, puluhan mungkin, pecutan di pantatnya, untuk melaju kencang mengikuti Leadernya.

Sudah lewat jam makan siang ketika kami memasuki kota Purwokerto. Dua mangkuk Sroto yang lezat (atau karena lapar?) habis saya santap. Tapi Kay mulai tak betah, mungkin karena mulai letih dan tak bisa bergerak leluasa di dalam mobil. Saya pun mulai tak tenang, karena Kay mulai mengeluarkan semua yang dia makan. Pasti masuk angin, pikir kami.

Kay langsung tertidur lelap setelah mandi air hangat dan makan sore di hotel. Sementara, kami segera menuju warung mie ongklok dekat hotel.

ongklok

Luar biasa segarnya pagi hari di Wonosobo. Apalagi setelah menyantap bubur ayam dan omelette. Kay pun sudah terlihat segar dan ceria kembali. Kami siap meneruskan perjalanan. Tujuan pertama, teater Dieng. Setelah itu, makan siang dan istirahat di Tambi, areal perkebunan teh kalau saya tak salah. Sungguh makan siang yang nikmat.

Yang paling mendebarkan selama touring berlangsung tentu saja menjalani rute Kampung Kopi Banaran-Semarang. Bagaimana tidak…? Kali ini iring-iringan benar-benar harus rapat. Sekedar rapat saja tentu tidak cukup untuk meliuk-liuk ditengah kemacetan dengan kawalan PATWAL, mengingat banyaknya motor yang dengan santainya bisa memotong di sela rombongan. Hebatnya, rombongan berhasil masuk Hotel Santika setelah mengelilingi kota Semarang tanpa terputus, padahal jarak tempuhnya cukup jauh. BRAVO BIC…!





Penanda

2 04 2009

Hari pasti terus berganti, demikian juga tanggal, dan bulan. Senin pasti akan terganti dengan Senin, demikian pula September yang diganti September yang lain. Adakah yang perlu dirayakan ketika sesuatu digantikan oleh sesuatu yang lain, yang hakikatnya adalah sama? Semua hanya berfungsi sebagai penanda, tidak lebih. Bahwa waktu terus bergulir, sesuatu yang terus tumbuh, yang kecil menjadi besar, dan yang muda menjadi tua.

Sama seperti Kamboja kuning di halaman rumah. Daun yang gugur akan segera terganti dengan daun yang lain, yang pada waktunya akan gugur juga. Bunga kuningnya merekah hanya untuk mati, terganti dengan bunga yang baru. Dan, tak ada yang pernah dirayakan oleh mereka, pohon kamboja, daun, dan bunganya. Bahkan oleh kumbang sebagai penikmatnya sekalipun.

Semua hanya penanda, bahwa kehidupan akan terus berjalan, dirayakan atau tidak.





Kosong

2 04 2009




Lebay…

1 04 2009

Saya tak tahu, kenapa tiba-tiba saya ingin menulis tentang kata ini, ‘lebay’. Mungkin karena puja-puji yang dialamatkan ke saya di rapat tadi.

Saya juga tak tahu, sejak kapan kata yang dalam bahasa aslinya sama dengan ‘lebih’ dengan awalan ‘ber’ dan akhiran ‘an’ ini jadi populer disini. Seperti bahasa gaul lain, kata ini jadi lebih cocok digunakan untuk menggambarkan sesuatu yang berlebihan, lebih dari semestinya. Lebih cocok daripada menggunakan bahasa aslinya, ‘berlebihan’, yang mungkin jadi terkesan gak keren, terlalu resmi, dan kaku.

Eniwei, apapun yang akan digunakan, ‘lebay’ atau ‘berlebihan’ artinya toh tetap sama. Jadi, biar gak dibilang ketinggalan jaman dan gak gaul, saya gunakan saja kata ‘lebay’ untuk sementara waktu, sampai musimnya lewat.

Kembali ke puja-puji yang saya anggap lebay tadi. Bukan bermaksud tidak tahu diri, atau malah di bilang lebay, tapi sungguh, saya sangat tidak nyaman mendapatkan pujian yang lebay dengan kata-kata penguatnya keluar dalam satu kalimat, seperti spektakuler, luar biasa, dan sebagainya. Tidak sepantasnya deretan kata itu muncul, karena saya merasa (entah yang lain), terlalu lebay. Ah, saya jadi ikut-ikutan lebay deh, sudah menggunakan istilah lebay kok masih di tambahi terlalu. Padahal kan lebay itu sebenarnya sudah terlalu, tanpa perlu ditambahi terlalu lagi. Sudah lah, daripada saya bertambah lebay, atau dibilang lebay, lebih baik saya sudahi saya tulisan ini. Dasar lebay…!





270309

30 03 2009

Terimakasih…Mesin itu berbunyi setelah saya menyodorkan jempol kanan. Belum sepenuhnya masuk ke news room ketika saya mendengar seseorang berbicara kepada seorang lainnya dengan suara cukup keras. Ada camera person senior gak ya…? Gw butuh buat naik heli nih…!
Saya tak bisa mendengar jawaban orang yang diajak bicara, tapi dari gesture nya dia tampak enggan meladeni pertanyaan itu, yang pasti berujung pada penugasan. Mungkin orang itu sudah terlalu letih, karena baru saja bertugas menjaga siaran pagi dari malam sebelumnya.

Tak lama, saya sudah meluncur ke Polda Metro Jaya. Yang saya tahu baru sedikit, itu pun baru pagi hari. Sebuah tanggul jebol, menyebabkan sebuah tsunami kecil di permukiman di bawahnya. Pagi itu korban tewas ‘baru’ belasan orang.

Heli milik Polda sudah siap saat saya tiba. Tak banyak basi-basi, kami naik perlahan, menuju lokasi. Saya masih berpikir ini hanya banjir biasa, yang disebabkan luapan air dari sebuah waduk yang jebol. Sampai akhirnya kami terbang cukup rendah diatasnya. Baru saya sadar, ini bencana besar. Waduk itu lebih tinggi dari permukiman di bawahnya, menyebabkan sebuah jalan yang berda di atas tanggul putus, dan air waduk sedalam 1o meter hampir kering tersedot.

Saya langsung bisa membayangkan betapa panik dan kagetnya orang-orang disana diterjang air sedemikian dahsyatnya di pagi buta. Entah bagaimana kerjanya, mata saya mulai mencari, untuk di rekam sebagai dokumentasi musibah itu. Saya mendapati sebuah bis besar yang terguling di depan kampus, sebuah mobil yang terseret sampai ke kali, rumah-rumah yang hancur, pohon-pohon yang tumbang, dan air yang sudah bercampur lumpur dimana-mana.

Hari itu, semua mata memang tertuju kesana, Situ Gintung, Ciputat, Tangerang, Banten. Semua mulut, semua mata. Semua tivi berlomba menayangkannya menit ke menit, menambahkan daftar nama korban tewas satu persatu, hingga hari ini.

*********

Sudah hampir jam sembilan malam ketika saya tiba di sebuah tempat beberapa kilometer dari lokasi bencana pagi itu. Dengan pakaian yang sama. Bedanya, yang saya lihat di depan saya malam itu sangat bertolak belakang dengan yang saya rekam pagi tadi. Kerumunan fans yang datang hanya untuk sekedar melihat idolanya, selebriti-selebriti tanah air dengan busana-busana mahalnya, kamera-kamera infotaiment, karpet merah, pejabat negara, makanan dan minuman yang berlimpah.

Malam itu sebuah pesta di gelar, di hari yang sama ketika sebuah musibah besar terjadi beberapa kilometer darisana. Entah apakah mereka bisa merasakan apa yang para korban rasakan juga.