Kemarin, dan yang akan datang…

23 12 2008

Masih jam 4 dinihari saat aku buka mata. Di sebuah kota yang berjarak 500 kilometer lebih dari Jakarta. Di sebuah hotel kecil di sebuah gang. Di sebuah kamar yang dingin tanpa AC sekalipun.

“Mas Gembong sudah sampai, tapi dia bingung harus kemana”, ibuku langsung bicara ketika mataku baru terbuka. Langsung kuambil telpon itu. “Naik becak saja Mas, bilang saja ke Nonongan, kalau sudah sampai, cari saja toko Batik Keris, nanti saya jemput disana”.

Tak berapa lama, telpon itu berbunyi lagi, “Wo, Mas Gembong dah di Nonongan, setelah ini kemana?”. Belum selesai dia bicara, saya sudah beranjak keluar hotel, ke jalan besar. “Sudah Mas, berhenti saja disitu, saya menuju sana, dimana tempatnya?” jawab saya sambil jalan.

Setelah itu, waktu berjalan cepat. Tak terasa.

Kamar-kamar mulai terbuka. Penghuninya keluar satu persatu, bersiap menyambut hari besar. Jam setengah enam. Tukang rias belum datang juga, padahal seharusnya dia sudah datang dari jam 5. Beberapa orang mulai tidak sabar. Maklum, jumlah orang yang mau dirias cukup banyak. Belum lagi yang harus disanggul.

Tak lama, tukang rias akhirnya datang, dan langsung mengerjakan tugasnya. Satu demi satu wajah mulai dipolesnya. Saya sendiri tak banyak dipoles, hanya diberi bedak tipis. Sesaat, tukang rias itu tampak ragu ketika memasang jarik. Seakan hendak bertanya tapi segan. Akhirnya semua pun siap. Hampir jam setengah delapan ketika sepeda motor itu masuk pelataran hotel dengan tergesa. “Loh, kenapa mas…?” tanya saya setelah mengenali pengendara motor yang masih tertutup helm. “Jariknya salah Yo, kamu harusnya pakai jarik ini. Yang itu jarik untuk putri”, jawab pengendara motor itu.

Hampir jam delapan ketika kode itu datang. Pihak perempuan sudah siap menuju mesjid. Rombongan pun langsung bergegas. Alhamdulilah, akhirnya kedua pihak bertemu di mesjid yang telah ditentukan. Saya, langsung diarahkan untuk duduk di depan meja yang telah disiapkan. Bersama dua orang saksi, dan satu orang wali. Tak lama, Bapak penghulu datang. Sedikit sambutan, akad nikah pun dilaksanakan. Entah kenapa dada saya berdegup kencang waktu itu, padahal malam sebelumnya sudah latihan berkali-kali. Alhamdulilah, semuanya berjalan lancar, tidak ada yang perlu diulang. Dua orang fotografer profesional, teman baik saya, dan seorang videografer profesional, juga teman baik saya, memberondong dengan kameranya masing-masing ketika beberapa prosesi dilaksanakan. Terimakasih teman. Saya berhutang kepada kalian.

Acara selanjutnya berjalan lancar. Resepsi yang diadakan secara sederhana, dengan hiburan dari pemain dan penyanyi siter yang rutin mangkal di daerah Keprabon.

Saya tak ingat tepatnya, ketika istri saya membangunkan saya sambil menunjukkan sebuah alat pengetes kehamilan. Positif katanya. Usia perkawinan kami masih sangat muda saat itu.

Sejak saat itu, ada rutinitas lain yang menemani kami. Kontrol kehamilan secara berkala. Yang sedikit merepotkan adalah ketika ia menginginkan dengan sangat seporsi Selat Solo. Sedangkan kami sudah berada di Jakarta waktu itu.

Semakin hari, janin itu semakin membesar, dan istriku tampak semakin lelah untuk menjalani rute Bekasi-Tendean pulang pergi dengan sepeda motor. Waktu tempuh pun jadi semakin lama, karena saya tidak berani memacu sepeda motor seperti biasa. Maklum, setiap hari ada saja lubang baru di jalanan ibukota.

Senang luar biasa hati saya akhirnya bisa melihat istri saya tertidur dengan pulas di jok yang nyaman di samping saya dalam perjalanan pulang ke rumah. Saya tak perlu lagi mengingatkannya untuk terus menerus berpegangan kepada saya, untuk mengingatkannya jangan tertidur dalam perjalanan pulang kerumah. Kamu boleh tertidur kapan saja sayang…Kamu bisa tetap tidur walau hujan turun dengan deras sekalipun.

Siang hari, Jum’at, 24 Oktober 2008. Khawatir itu mulai muncul saat istriku memberi kabar dia telah beberapa kali kontraksi. Khawatir tidak dapat menemani buah hati hadir ke dunia, langsung saya berangkat sore itu juga.

Sabtu, 25 Oktober 2008. Saya sudah tertidur ketika istri saya membangunkan di tengah malam. “Kayaknya ketubanku pecah deh, tolong bangunin Mami”, ujarnya di sela kesadaran saya. Tak lama, kami meluncur ke rumah sakit yang tak jauh dari rumah.

Semalaman, dia menahan sakit, sampai akhirnya si cantik lahir siang harinya, Minggu, 26 Oktober 2008 pukul 10.15. Tak tahan juga saya menitikkan airmata, walau cuma setitik, saat menyaksikan proses kelahiran itu.

Hari ini, sudah satu tahun kami menjalani kehidupan bersama. Kedepan, si cantik Kay akan menemani kami menjalani hari demi hari. Doakan kami.


Actions

Information

One response

9 07 2012
ruthnath

boleh nangis gak :’)

Leave a comment