Santunan

22 04 2015

Santunilah setiap anak, maka anakmu Insya Allah disantuni oleh orang, entah siapa yang diutus-Nya. Perbuatan baikmu kepada setiap anak adalah undangan bagi pertemuanmu dengan anakmu, didunia ini atau diakhirat nanti.

http://www.caknun.com





dalam diam

22 04 2015

Ada hal yang tak perlu dibicarakan. Sama halnya dengan berita yang memang harus dikabarkan.

Setidaknya, itu yang saya pikirkan ketika menjawab pertanyaan seorang kawan lama via BBM.

“Kapan sampeyan beramal, orang kaya wajib hukumnya beramal”  begitu yang dia tulis dalam pesannya.

Spontan saya menjawab, “ beramal itu tak perlu bilang-bilang, sama seperti berzina yang harus dilakukan diam-diam”

Aneh rasanya kalau tak bisa dibilang kelainan, jika ada seseorang yang telah berzina kemudian berkirim kabar ke semua orang bahwa ia telah berzina. Atau seorang pencuri yang baru saja mencuri lalu berkoar-koar kalau dia baru saja mencuri.

Itu mestinya dan lazimnya yang harus dilakukan seoarang yang rajin beramal, atau beribadah. Tak perlu dibicarakan, tak perlu diberitakan, apalagi dipamerkan. Lakukan saja semuanya dalam diam. Toh Tuhan jauh lebih tahu mana yang baik dan buruk.





Kontras

26 07 2014

Bersyukur itu tak sulit. Lihat saja sekeliling. Seperti yang kami lihat dalam perjalanan menuju Solo dari Jakarta.

Di tengah malam, di bawah guyuran hujan di ruas jalan Salatiga-Solo, saya merasa kedinginan di dalam mobil ber AC, padahal tubuh ini sudah diselimuti jaket berbulu angsa.

Di depan mobil, sepasang keluarga muda berpacu kencang dengan motornya. Melawan malam, di tengah hujan. Diantara Bapak dan Ibu itu, sesosok kaki mungil menjulur keluar dari jas hujan tanpa penghangat, apalagi bulu angsa.

Bocah kecil yang mungkin baru berusia 1 tahun lebih itu mengingatkan saya pada Kay dan Haidar yang sedang tertidur lelap di bawah selimut. Tak kehujanan, dan tak terkena angin malam. Kontras dengan mereka yang berpacu kencang melawan malam dan dinginnya hujan.





Perlakuan kasar oknum POM AL di “rumah kami” sendiri

28 10 2013

Sabtu pagi, sekitar jam 09.00 WIB di salah satu cluster perumahan Raffles Hills, Cibubur.

Saya, istri, dan anak saya hendak mengambil kucing di rumah tetangga saya yang masih satu cluster. Rumah kami di bagian paling belakang cluster. Rumah tetangga kami ada di depan, persis di sebelah pos satpam. Setengah jalan, terlihat banyak mobil terparkir di kanan kiri jalan cluster (biasanya kosong). Ternyata ada yang sedang hajatan, seorang petinggi TNI AL. Bingung parkir dimana, akhirnya saya menurunkan istri saya di luar cluster, tepat setelah melewati pos satpam. Saat istri saya sedang turun, seorang oknum POM AL dengan menghardik dari pertigaan (sekitar 100 meter dari posisi mobil saya), “ayo jalan cepat!” Dengan spontan saya jawab, “iya, tunggu sebentar, ini kan ada yang mau turun”

Entah kenapa, sang oknum dengan lebih keras menghardik dari kejauhan. Malas ribut karena ada anak-anak, setelah istri saya turun saya pun memutar mobil untuk parkir dan menunggu istri saya. Tak mudah mencari tempat parkir saat itu, karena hampir semua jalanan di cluster bahkan sampai luar cluster, “dikuasai” tamu undangan yang punya hajat.

Satu-satunya tempat parkir yang ada, berada persis di samping sang oknum POM AL. Begitu mobil berhenti, dia menghampiri lagi, “mas kalau dikasih tahu itu nurut” Saya yang sudah lumayan tinggi pun langsung nyaut, “bapak kalau nyuruh mbok ya ngomong nya baik-baik, gak usah bentak-bentak, saya warga sini pak, rumah saya disini” sang oknum yang entah belum dapat jatah atau snack tak juga menurunkan cara bicara nya, “iya saya tahu, tapi itu menteri mau lewat, tau gak?”

“Ya mana saya tahu, kalau bapak ngomongnya baik-baik kan enak, lagian itu istri saya lagi turun mobil masa saya mau jalan gitu aja”

Di tengah perdebatan, istri saya akhirnya sampai juga ke tempat kami, dia yang tak kalah emosi memberitahu ke sang oknum, “kenapa sih ngasih tahunya mesti begitu pak? Kenapa gak bilang baik2?”

“saya kurang baik apa? tadi itu kurang baik?” jawab oknum dengan nada masih membentak seperti layaknya membentak demonstran.

Ditengah perdebatan yang cukup sengit, tiba-tiba sang oknum mengeluarkan perkataan yang sangat tidak pantas, yang membuat kami masih tidak terima sampai hari ini.

“Ibu kok pake kerudung kelakuannya begitu, gak malu apa sama kerudung?’

“Kenapa saya mesti malu? salah saya apa? lah wong yang gak sopan itu bapak!”

“Dasar asu…!!!” bentak sang oknum, perkataan yang membuat kami mendidih. Anak kami yang masih kecil (5 dan 2 tahun) menyaksikan semua yang terjadi dari dalam mobil.

Setengah menahan tangis, istri saya masih bertanya dan memastikan, “bapak bilang apa tadi?’

“ASU…!!!” tegas sang oknum dengan mantab.

Saya yang merasa oknum ini sudah tidak bisa diajak bicara lalu mengajak istri saya masuk kembali ke cluster, padahal rencananya pagi itu kami mau keluar. Kami coba cari komandan POM AL di acara hajatan pagi itu, tapi semua yang kami temui saling lempar, tak ada yang mau memberitahu siapa yang bertanggungjawab terhadap pengamanan hajatan sang petinggi AL yang notabene “tetangga” kami sendiri.

Sungguh disayangkan perlakuan oknum POM AL di “rumah kami” sendiri. Hari itu juga, persepsi saya terhadap mereka seketika berubah. Dimana yang namanya pelindung rakyat? Jika mereka bisa seenaknya bertindak represif terhadap warga sipil di ‘rumah kami sendiri” seperti itu, bagaimana di tempat lain?

Sepatutnya, mereka bisa membedakan pengamanan di “rumah orang” dan pengamanan di wilayah mereka sendiri/ public area. Lha wong acara nya di cluster kami, rumah kami, kenapa kami yang harus “terusir” dan “terintimidasi?’

Kepada pihak-pihak yang berwenang, tolonglah sikap-sikap arogan dan seenak udelnya seperti ini bisa ditertibkan. Bukan hanya mengganggu, tapi hal-hal seperti ini juga jelas bisa merusak nama institusi.

Sekian,

Terimakasih.

NB : nama oknum POM AL tadi adalah R.E Sutarsa, tapi nama petinggi yang punya hajat sengaja tidak kami sebutkan, karena kejadian ini tak ada kaitaanya langsung dengan Jenderal berbintang dua TNI AL ini.





New Year, New Life

4 01 2011

Ada yang beda di tahun baru kali ini. Bukan perayaannya, karena saya hampir tidak pernah merayakan pergantian tahun. Begitu juga dengan tahun baru kali ini. Sebelum tengah malam saya sudah tertidur pulas, walau sempat dibangunkan suara kembang api yang bersahutan. Maklum, rumah kami dekat sekali dengan tempat hiburan yang dari tahun ke tahun selalu merayakan pergantian tahun dengan gegap gempita. Salah satu pusat perayaan tahun baru di Jakarta.

Itu rumah kami yang dulu. Rumah yang kami beli bahkan sebelum kami menikah. Rumah yang selalu menjadi tempat istirahat selama lebih dari 3 tahun. Rumah mungil yang sudah kami tambah dan poles sedikit demi sedikit.

Rasanya baru kemarin, ketika kami pertama kali menempati rumah itu. Belum ada apa-apa, hanya sebuah rumah kosong yang mungil. Lalu mulai lah di tambah kan teralis untuk jendela-jendela depan, dan kanopi untuk memberi sedikit kesan teduh. Kemudian, dengan diskonan besar di PRJ, kami membawa pulang springbed ukuran king, isi rumah yang paling mahal saat itu.

Setelah bidadari kecil kami hampir lahir, barulah kami bisa membeli penyejuk ruangan yang sudah lama diinginkan istriku. Memang berguna ternyata, jauh lebih sejuk dari kipas angin yang kami punya sebelumnya. Tapi tetap, belum ada sebuah kotak besar berpintu yang disebut lemari pakaian, sofa, atau meja tamu.

Kemarin, tepat di hari pertama 2011, waktu itu tiba, waktu yang datang jauh lebih cepat dari perkiraan kami.

Perlu dua mobil box berukuran besar, plus beberapa bagasi mobil untuk mengangkut semua barang-barang kami ke tempat yang baru, tempat tinggal sementara. Luar biasa memang. Ternyata kami punya ‘banyak’. Jauh lebih banyak dari dahulu. Jauh lebih banyak dari yang dimiliki orang-orang lain di luar sana.

Begitu juga dengan rumah tinggal sementara yang kami tempati sejak awal tahun ini. Jauh lebih besar dari rumah mungil kami. Tapi, ternyata tidak lebih nyaman, meski fasilitas nya lebih lengkap. Memang benar kata orang, hidup itu memang butuh pengorbanan. Mungkin inilah yang harus kami lakukan sekarang. Jika sesuai rencana, calon bayi kami juga akan sempat merasakan tinggal di rumah ini, walau hanya beberapa bulan. Mungkin, di rumah ini kami harus bisa lebih belajar bersyukur. Mengingat, apa yang sudah kami dapat sampai saat ini, sungguh jauh dari saat kami memulainya dulu.





Hello…

19 10 2010

Apa kabar mu disini…?
Banyak yang ingin kuceritakan sebenarnya, tapi tetap saja tak pernah.
Mungkin nanti, jika sempat, atau tak malas.





Pengecut yang tegas

25 03 2010

“Gua gak suka…!”

Satu kalimat pendek itu membuatku terkejut. Bukan karena isinya, tapi karena bagaimana dia menyampaikan nya. Jelas, dia menunduk hanya untuk memberi kesan agar terlihat sibuk membaca kertas di mejanya saat menyampaikan itu. Bukan melihat langsung kehadapanku. Sungguh suatu statement yang membingungkan. Sebuah statement tegas yang disampaikan dengan cara yang tidak tegas, kalau tidak mau dibilang pengecut. Akan lebih menyenangkan dan terlihat jantan seandainya dia menyatakan dengan cara yang seharusnya. Bukan malah menunduk.

Soal dia tidak suka, aku memang sudah tahu sejak lama. Sebabnya pun jelas, karena aku mungkin orang yang secara terang-terangan menyatakan ketidaksukaanku terhadap caranya membuat sesuatu seolah-olah dunia ada ditangannya. Dan, jika ada yang tidak memperlakukan dunia seperti caranya, maka dia yakin dunia akan segera kiamat, runtuh, hancur. Maka, akan dipaksanya mereka-mereka itu untuk memperlakukan dunia sama seperti cara dia, karena dengan begitu, dia yakin dunia akan aman tentram sentosa, dan semua yang hidup disana akan tumbuh subur. Tak ada tapi.

Sebuah keyakinan yang absolut. Keyakinan yang sama sekali tidak bisa diganggu gugat. Seperti keyakinan umat beragama terhadap Tuhannya. Mereka yang menentang keyakinan akan adanya Tuhan, pastilah orang-orang yang tidak beragama.

Begitu juga dia. Semua yang tidak sepaham dengan keyakinannya, berarti bukan orang-orangnya. Dan, mereka tidak layak disukai. Seperti aku, yang akhirnya mendapat jawaban langsung darinya sore ini, bahwa dia tidak suka. Karena, aku tak pernah bisa mengikuti keyakinannya yang absolut.





Bohong

23 03 2010

Namanya indah, tapi bukan “Indah.” Maksud ku, perempuan itu. Cantik, dan menyenangkan. Tatapannya tajam, sangat tajam. Dari tatapannya itulah ketertarikanku bermula.

Awalnya menyenangkan, karena dia memang bisa begitu menyenangkan, dengan caranya sendiri. Tapi, ada satu hal yang sangat melekat padanya, sebuah ketiba-tibaan. Tiba-tiba saja dia menghilang. Lalu kemudian dia kembali, tiba-tiba pula.

Dia, dan banyak mahkluk lain, baik perempuan atau lelaki, adalah contoh sempurna akan ketidakkonsistenan. Inkonsistensi yang identik dengan kebohongan, apapun kobohongannya.

Banyak dari kita yang memang suka berbohong tanpa sadar. Karena sebenarnya, kebohongan yang diciptakan adalah kebohongan tentang dirinya sendiri. Mengingkari apa yang menjadi keinginannya, menyangkal apa yang pernah dikatakannya, atau memang kebohongan yang benar-benar diciptakan, entah dengan maksud apa. Mungkin kebohongan itu tidak bermaksud menciderai siapapun, atau apapun, tapi tetap, itu adalah sebuah kebohongan. Kebohongan yang secara tidak sadar dinikmati nya.

Untuk orang-orang seperti itu, memang nyaris sudah tidak ada lagi yang bisa dipegang, sebuah kata sekalipun. Karena jelas, dia akan menikmati hari-harinya dengan kebohongan yang diciptakan. Kemarin, sekarang, dan mungkin sampai ajalnya. Ternyata, memang ada orang yang menikmati hidup dalam dunia kebohongan yang diciptakan sendiri, salah satunya adalah dia.





Berebut Mayat

11 03 2010

Sudah sangat gelap saat kami tiba di sebuah desa di sebuah wilayah di Lampung Timur. Kira-kira 7 tahun yang lalu. Lalu terlihat lah kode itu. Kode yang berarti kami diperbolehkan turun dari mobil yang sudah terparkir. Lengkap dengan senjata kami, kamera besar seberat kurang lebih 7 sampai 10 kilogram. Kemudian, kami berjalan dengan cepat, tanpa suara, tanpa penerangan kecuali sinar bulan, menyusuri jalan kampung yang becek tersiram hujan siang tadi. Saya hanya bisa melihat langkah kaki seseorang diantara mereka yang berjalan persis di depan saya, sebagai panduan saya untuk melangkah. Langkahnya cepat, tergesa. Sungguh, itu merupakan penyiksaan yang panjang. Saya tak terlatih untuk itu, berjalan cepat di kegelapan dengan membawa beban berat. Tak ada kesempatan bicara sama sekali untuk meminta rehat sejenak. Semua bungkam, semua tergesa. Entah berapa lama kami berjalan waktu itu. Sampai akhirnya semua orang yang berada di depan kami merunduk, memperlambat langkah kaki mereka, membuat suara gesekan kaki-kaki dengan rumput dan ilalang tiba-tiba hilang. Sunyi. Saya hanya bisa mencari apa yang bisa saya lihat, sebuah rumah gubuk yang menyendiri, juga gelap.

Dengan mengendap-endap, mereka menuju ke rumah itu, masih tanpa suara. Tanpa aba-aba, saya mengikuti. Semua orang menggenggam sesuatu di tangannya. Entah bagaimana, tiba-tiba semua orang dengan pistol di tangan sudah berada di dalam rumah. Berteriak kesana kemari. Sesaat setelah tak terdengar letusan, saya langsung masuk, dengan kamera di pundak, mencari gambar apa saja yang ada disana, mencari apakah ada bahaya yang mengancam, mencari apa yang mereka cari. Tapi hanya ada seorang bapak tua yang dengan tenangnya terduduk di kasur tanpa dipan. Bukan ekspresi ketakutan yang dipancarkan, hanya ekspresi kebingungan. Dengan menghardik, salah seorang dari mereka bertanya kepada si bapak, menanyakan keberadaan orang yang mereka cari. Dengan polosnya, si bapak mennyebut sebuah tempat, entah dimana. Sekejap, bapak itu sudah berada di luar rumah, kembali menyusuri malam di jalan yang becek bersama kami, masih dengan langkah kaki yang tergesa setengah berlari.

Akhirnya, saya pun melihat rumah yang jadi tujuan kami selanjutnya, cukup jelas. Karena, seperti rumah pertama, rumah itu pun berdiri sendiri, di gelapnya malam. Adegan itu pun berulang, beberapa orang menyerbu masuk sambil berteriak, dengan mengacungkan senjata api masing-masing. Satu dua letusan sempat terdengar. Dengan cepat mereka menyebar ke penjuru rumah, yang ternyata memiliki dua lantai, walaupun hanya gubuk. Tak sampai semenit, seorang dari mereka turun bersama seorang lelaki dewasa dan perempuan belia, tanpa busana. Rupanya, mereka sedang asyik bercinta saat kami tergesa-gesa masuk ke rumahnya. Tanpa perlawanan, mereka pun di bekuk.

Penggerebekan yang lain di mulai saat tengah malam di daerah yang terkenal dengan ilmu debusnya. Menyusuri desa satu ke desa yang lain, berlari dalam senyap di gang-gang sempit, lalu mendobrak masuk. Membuat bangun seisi rumah. Kebanyakan tanpa hasil, walaupun ‘segala cara’ sudah dilakukan untuk mendapatkan keterangan dimana orang yang mereka cari. Sampai mereka, para ‘pemburu’ itu terlihat lelah, setelah ber jam-jam berburu tanpa hasil. Lalu datanglah info itu, entah darimana asalnya. “Terakhir, sebelum kita pulang,” ucap sang pemimpin. Saya sendiri juga sudah sangat lelah ketika kami tiba di sebuah perkampungan yang cukup padat, tapi masih terlelap. Mendekati saat shalat subuh waktu itu. Seorang ibu yang sedang mengaji terdengar jelas dari luar rumah. Tapi, suara mengaji itu berhenti tiba-tiba saat pintu rumahnya diketuk. “Polisi…! Buka pintu…!” Lalu sunyi. Tak sampai hitungan detik, pintu rumah didobrak paksa. Persis dibelakang pendobrak, saya siap dengan kamera, ikut masuk ke dalam rumah. Dari bagian belakang, terdengar langkah kaki tergesa, menyebabkan suara gaduh karena dia menabrak sesuatu, diikuti suara ibu yang berteriak memanggil nama anaknya dengan ketakutan. Sebuah letusan terdengar, diikuti eternit rumah yang jatuh berhamburan jatuh menimpa saya dan kamera. Akhirnya penangkapan itu membuahkan hasil, diiringi kumandang adzan subuh dan tangisan seorang ibu yang ibadah mengajinya terhenti karena kami.

Belum lama ini, saya mendengar kembali gegap gempita ‘keberhasilan’ polisi menangkap (atau membunuh?) orang-orang yang diyakini sebagai target buruannya. Untuk yang ini, saya tak bisa bercerita banyak, karena saya hanya melihat dari layar kaca, bukan dengan mata kepala sendiri. Yang saya tahu, 3 orang mati di pihak ‘lawan’ dan tak ada satu pun yang terluka di pihak ‘kawan’. Yang saya tahu, menurut apa yang saya ‘dengar’, mereka melawan saat hendak ditangkap. Terlebih lagi mereka berbahaya katanya. Yang saya tahu, sampai saat ini kontroversi mengenai penangkapan (atau pembunuhan?) orang-orang itu masih terus bergulir dan menjadi pertanyaan masyarakat. Yang saya tahu, semua media berlomba untuk mendapatkan gambar “mayat-mayat itu”, tak perduli apakah mayat itu masih tergeletak di jalan atau sudah terbungkus kantung mayat. Yang saya tahu, semua kru yang ditugaskan di lapangan saat itu, harus mendapatkan gambar “sang mayat”, entah bagaimana caranya. Kalau perlu, dengan cara “berbisnis” dengan pihak-pihak tertentu. Sungguh, saya tak mengerti, untuk apa mereka, termasuk kami, berebut gambar mayat itu. Mayat yang tidak kita ketahui dengan pasti bagaimana ceritanya mereka akhirnya menjadi mayat. Tak bisakah mereka ditangkap hidup-hidup…? Atau mungkin, ‘mereka’ berpikir orang-orang itu memang pantas untuk dijadikan mayat…?

Foto : Detik.com





9 03 2010

Maaf kan aku Tuhan…
Aku berdosa…

Aku terlalu silau dan khilaf…

Maaf…Kepada kalian semua…

Jika ada yang bisa kulakukan untuk menebusnya, katakan saja. Asal jangan yang ‘itu’. Sungguh, saya tidak sanggup.